-->

Notification

×

Indeks Berita

Febriansyah; Meningkatkan Etos Literasi di Era Digital

الأحد، 22 أغسطس 2021 | أغسطس 22, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-08-22T14:05:12Z

 

Ket foto: Febriansyah D.S Making, Sekretaris Bidang Pengembangan Ilmu Pengetahuan Ikatan Pelajar Muhammadiyah Luwu


Febriansyah; Meningkatkan Etos Literasi di Era Digital


SUARA LITERASI,--Perjalan Konsep Literasi. Sebelum dikenal kata literasi yang sangat familiar dikalangan cendekia dan mahasiswa serta pelajar, dikenal istilah aksara yang memiliki kepadanan makna terhadap kata literasi. Namun seiring perkembangan zaman dan pergeseran kata literasi yang sebelumnya litercy kemudian bermutasi dan menjalar menjadi bahasa Indonesia serta dipopulerkan sebagai suatu istilah literasi yang berhubungan dengan kemampuan menulis dan membaca

Pergeseran memaknai kata literasi pun tidak sampai disini saja, seiring perkembangan zaman makna literasi terus bermutasi mengikut  perkembangan kondisi. Hal tersebut senada yang disampaikan Prof. Djoko Saryono bahwa semula yang sangat familiar yakni kata aksara, namun seiring berjalannya waktu istilah literasi mengantikan istilah aksara yang dimaknai sebagai suatu kemampuan membaca dan menulis. Namun istilah literasi pun bertransformasi maknanya. Itu diungkap Prof. Djoko Saryono dalam artikel yang ditulisnya dan  dirilis oleh media matakita.com. Ia mengatakan Konsep literasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada mulanya literasi sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai pemahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Tak mengherankan, kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Lebih lanjut, literasi dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial di dalam masyarakat. Di sinilah literasi sering dianggap sebagai kemahiran berwacana.

Berdasarkan hal tersebut yang mengakibatkan konsep-konsep literasi juga terus berubah dan dinamis, sebab perbedaan pemaknaan  yang mendasari perubahan itu. Namun, sejak awal konsep literasi dijewantakan dalam bentuk kegiatan  berupa menulis dan membaca di buku dalam artian manual, bahkan sebelumnya media baca dan tulis berupa buku dan kertas, orang-orang hanya bisa mengekspresikan kegiatan literasi lewat media alam seperti batu, kulit sapi, daun, kayu pohon dan lain-lain.

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya  zaman,  pemaknaan terhadap konsep literasi tetap berubah dan bergerak dinamis serta menunjukkan spesifikasi,bahkan istilah-istilah literasi pun bermunculan dan menjadi sebuah konsep literasi yang makin kompleks dan relevan dengan zaman. Salah satu konsep yang ditawarkan dan diwacanakan hari ini adalah konsep literasi digital hal tersebut bersumber dari bacaan terhadap kondisi zaman hari ini yang makin kompleks. Bukan hanya itu juga didasari karena kehidupan manusia telah bertransformasi menjadi digital, dalam artian aspek kehidupan digitalisasi akibat kecanggihan teknologi yang hadir menghiasi kehidupan manusia. Hal tersebut yang melatar belakangi hadirnya konsep literasi digital itu.

Sejak kemunculan teknologi, sangat memberikan perubahan signifikan terhadap tatanan  segala  kehidupan manusia, termasuk konsep literasi yang telah dicanangkan hari ini. Perkembangan teknologi yang menggeser literasi baca buku dan menulis secara manual menuju budaya literasi yang digitalisasi. Pasalnya diantara minat baca dan bermain gadget. Menurut data United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menerangkan bahwa Indonesia berada pada urutan kedua terbawa negara dengan penduduk yang kurang minta bacanya. UNESCO menerangkan, minta baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan hanya 0,001 % artinya dari 1000 orang Indonesia  cuman 1 orang yang rajin membaca. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sangat terbelakang dalam hal literasi

Dirilis oleh kementerian informasi dan komunikasi republik indonesia melalui portal website-nya bahwa riset berbeda yang juga pernah dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.


Dua data di atas sangat jelas menerangkan bahwa penduduk Indonesia memang kurang minta membaca, selaras dengan realitas hanya sedikit diantara remaja atau pelajar di sekolah yang menjadikan buku sebagai teman ataukah sahabatnya, bahkan di sekolah penulis saja tampak segelintir menjadikan baca buku sebagai budaya maupun kebiasaan.


Sementara disisi lain yang sangat nampak secara kebanyakan remaja atau pelajar  lebih dekat dengan gawai nya, sehingga aktivitas membaca buku tidak lagi menjadi hobi  dan kebiasaan remaja saat ini.


Hal ini tentu sangat berdampak pada perkembangan pelajar saat ini. Diketahui kurang lebih 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing E-marketer menerangkan di tahun 2018 jumlah pengguna aktif Smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

 

Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia. Juara deh. Jakarta  kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.


Berdasarkan hal di atas menunjukkan penduduk indonesia lebih suka mengunakan gadgetnya dibandingkan membaca buku, bahkan menurut  informasi rata-rata penduduk Indonesia saat mengunakan gadget dengan bermain game dan bermain media sosial, seperti facebook, instagram, twitter, tik tok dan lainya.


Kedekatan dengan gadget sudah tidak bisa dibendung lagi sebab hal tersebut sudah menjadi gaya hidup (life style). Namun tugas kita sebagai manusia dituntut untuk cerdas dalam mengunakannya. Sebab, gadget ibarat sebilah pisau dan dua sisi koin mata uang yang memiliki dampak negatif dan positif. Tidak bisa kita pungkiri gadget juga memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan peradaban dan mempermudah urusan manusia dibeberapa lini kehidupan.


Konsep Literasi Digital

Kecanggihan teknologi tidak bisa lagi dipungkiri kontribusinya terhadap perkembangan peradaban kehidupan manusia. Sebagain dari kita mengakui bahwa dampak teknologi juga mengikis beberapa kebiasaan serta budaya yang sejak dulu dipertahankan. Seperti halnya budaya literasi yang kurang diminati para pelajar. Kehadiran teknologi membuat manusia lebih dekat dengan gadget, ketimbang buku bacaan. Kehadiran gadget tidak bisa kita hindari, sebab telah menjamur dan lebih dekat dengan penggunanya. Bahkan tiap hari, tiap detik gadget selalu menjadi teman kita dalam segala hal. Tentu, itu juga menguntungkan bagi penggunanya. Sebab, gadget bisa menjadi media informasi tercepat bagi masyarakat. Bahkan hal tersebut justru memudahkan pelajar dalam mengakses hal-hal yang berbau pengetahuan lewat kecanggihan gadget.

Berdasarkan hal tersebut yang mesti direspon oleh Pimpinan Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam meningkatkan kesadaran literasi. Kita ketahui bersama sebelum datangnya teknologi, teman dekat pelajar adalah buku. Namun seiring berkembangnya teknologi, tentu kita harus mampu memanfaatkan kecanggihan tersebut dengan peningkatan etos literasi. salah satu konsep  dengan kondisi hari ini adalah literasi digital, hal ini tentu sangat membantu dalama peningkatan etos literasi dikalangan pelajar dan remaja hari ini.

Menurut wikipedia Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digital juga merupakan kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mengkomunikasikan konten/informasi dengan kecakapan kognitif dan teknikal. Digital literasi lebih cenderung pada hal hal yang terkait dengan keterampilan teknis dan berfokus pada aspek kognitif dan sosial emosional dalam dunia dan lingkungan digital.[3] Literasi digital merupakan respons terhadap perkembangan teknologi dalam menggunakan media untuk mendukung masyarakat memiliki kemampuan membaca serta meningkatkan keinginan masyarakat untuk membaca. 

Elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital :

Kultural,   yaitu  pemahaman  ragam   konteks   pengguna  dunia digital;

Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;

Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;

Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;

Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;

Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;

Kritis dalam menyikapi konten; dan bertanggung jawab secara sosial

Prinsip dasar pengembangan literasi digital : 

1. Pemahaman untuk mengekstrak ide secara eksplisit dan implisit dari media

2. Saling ketergantungan antara media yang satu dengan media yang lain

3. Faktor sosial menentukan keberhasilan jangka panjang media yang membentuk ekosistem organik untuk mencari informasi, berbagi informasi, menyimpan informasi dan akhirnya membentuk ulang media itu sendiri

4. Kurasi atau kemampuan untuk menilai sebuah informasi, menyimpannya agar dapat di akses kembali.

Kerangka literasi digital Indonesia:

1. Proteksi (safeguard), yaitu perlunya kesadaran atas keselamatan dan kenyamanan pengguna internet, yaitu perlindungan data pribadi, keamanan daring serta privasi individu dengan layanan teknologi enkripsi sebagai salah satu solusi yang disediakan.

2. Hak-hak (right), yaitu hak kebebasan berekspresi yang dilindungi, hak atas kekayaan intelektual, dan hak berserikat dan berkumpul

3. Pemberdayaan (empowerment), yaitu pemberdayaan internet untuk menghasilkan karya produktif, jurnalisme warga, dan kewirausahaan serta hal -hal terkait etika informasi.

Penulis : Febriansyah D.S Making

Sekretaris Bidang Pengembangan Ilmu Pengetahuan Ikatan Pelajar Muhammadiyah Luwu.

Simak berikut video berita SNN.








Coffee Ginseng 5 In 1

×
Berita Terbaru Update