-->

Notification

×

Indeks Berita

Arif Maulana; Omnibus Law di Tengah Pandemi

Rabu, 22 April 2020 | April 22, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-04-22T11:13:15Z
Penulis: Arif Maulana 
Kabid hukum dan ham PP kpmp


OPINI,--Dengan dilakukannya kembali pembahasan RUU cipta kerja pada saat kondisi pandemi terjadi, semakin membuat  masyarakat  tidak percaya kepada penguasa dan mencurigai bahwa jangan - jangan DPR memanfaatkan situasi pandemik yang terjadi untuk memuluskan pengesahan RUU cipta kerja.

RUU cipta kerja merupakan metode untuk melakukan perubahan pada undang - undang agar terjadi perampingan/menyederhanakan aturan. Namun dibeberapa poin yang terdapat pada RUU cipta kerja ini, ada beberapa pasal mengganjal yang mengupayakan kepentingan kelompok masuk didalamnya.

Sebelumnya aturan sudah jelas dan mengikat tapi dibuat agar ada  celah kepentingan masuk didalamnya. Salah satu pakar hukum tata negara Prof.Refly Harun berpendapat bahwa RUU cipta kerja ini menjadikan segala sesuatunya harus dari kaca mata pemerintah pusat.

Hal ini senada dengan pendapat Dr.Irman Putra Sidin bahwa kita tidak menginginkan  udang – undang berjalan sesuai intensi eksekutif, harus berjalan sesuai intensi oleh rakyat melalui DPR tapi tetap harus dengan persetujuan eksekutif sebab eksekutif yang melaksanakan undang – undang.

Salah satu poin yang menarik yaitu pada pasal 170 RUU cipta kerja yang menerangkan bahwa pemerintah pusat berwenang mengubah undang - undang melalui PP (peraturan pemerintah). tentunya ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 tentang kekuassan pemerintahan negara pasal 5 ayat 2 Presiden menetapkan (peraturan – pemerintah) untuk menjalankan undang – undang sebagaimana mestinya. Ini menjelaskan bahwa PP (peraturan pemerintah) sifatnya hanya mengtatur lebih lanjut apa yang ada didalam undang – undang bukan untuk membatalkan undang – undang.

Didalam pasal 122 RUU cipta kerja yang menerangkan apabila rumah masyarakat digusur untuk kepentingan pembangunan proyek negara maka masyarakat tidak bisa protes soal ganti rugi. Hal ini tentu bertentangan dengan asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum  yaitu asas kemanusiaan, asas keadilan, asas kemanfaatan, asas kepastian, asas keterbukaan, asas keikutsertaan, asas kesejahteraan, asas keberlanjutan, asas keselarasan dan tentunya sangat kontradiktif dengan nilai keadilan sosial yang terkandung didalam pancasila
Selanjutnya pada pasal 127 RUU cipta kerja yang mengatur mengenai hak guna usaha diberikan hingga 90 tahun, salah satu jurnalisme investigasi dhandy laksono berpendapat bahwa regulasi ini lebih lama dari pada aturan zaman colonial Belanda. saat ini berdasarkan UUPA (undang – undang pokok agraria) pasal 29  ayat 2 untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 25 tahun. 25 tahunpun merupakan waktu yang cukup lama bagi perusahaan untuk menguasai sumber daya alam kita.

Kemudian pada pasal 122 RUU cipta kerja yang memberikan kesempatan untuk melakukan pengembangan proyek di lahan pertanian yang subur dan produktif dan melakukan pembangunan di Kawasan hijau semakin meyakinkan masyarakat bahwa ini adalah untuk kepentinngan oligarki sehingga pembahasan RUU cipta kerja tergesa-gesa dan mencederai transparansi pembahasan.

Hal penting yang harus dibahas DPR adalah bagaimana memikirkan nasib 38, 84 juta rakyat Indonesia yang memerlukan bantuan dan perhatian pemerintah ditengah pandemi ini.

Penulis: Arif Maulana
Kabid hukum dan ham PP kpmp

Coffee Ginseng 5 In 1

×
Berita Terbaru Update