-->
  • Jelajahi

    Copyright SNN© SNN
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan



    SAKARIAH.SH; Cinta Palsu, Jerat Hukum Nyata: Pandangan Hukum atas Love Scamming

    Kamis, 14 Agustus 2025, Agustus 14, 2025 WITA Last Updated 2025-08-14T05:46:09Z



    SAKARIAH.SH ; Cinta Palsu, Jerat Hukum Nyata: Pandangan Hukum atas Love Scamming Berkedok Cadar di Pinrang


    SUARA HUKUM,-- Sebagai praktisi hukum, saya memandang kasus love scamming di Pinrang ini bukan sekadar drama asmara yang gagal, melainkan kejahatan terencana yang harus diusut tuntas. Seorang pria menyamar dengan menggunakan cadar, berpura-pura menjadi perempuan salehah, menjalin hubungan asmara daring dengan seorang warga, bahkan hampir sampai ke tahap akad nikah


    Akibat tipu daya ini, korban kehilangan uang Rp28 juta dan keluarga korban murka karena merasa harga diri mereka dilecehkan.


    Dari sudut hukum pidana, tindakan pelaku memenuhi Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang mengancam pidana penjara maksimal empat tahun. Unsur yang terpenuhi jelas: pelaku menggunakan identitas palsu dan rangkaian kebohongan untuk membujuk korban menyerahkan uang. 


    Karena perbuatan ini dilakukan melalui komunikasi daring, aparat penegak hukum juga dapat menggunakan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE, dengan ancaman pidana lebih berat—penjara hingga enam tahun dan denda hingga satu miliar rupiah. 


    Jika pelaku menerima uang melalui rekening, penelusuran juga dapat dilakukan berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, jika aliran dana mengarah ke pihak lain.


    Selain pidana, korban memiliki hak untuk menuntut ganti rugi secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum (PMH). Artinya, selain dipenjara, pelaku juga dapat diwajibkan mengembalikan kerugian materi korban melalui gugatan perdata di pengadilan.


     Langkah ini penting agar proses hukum tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga memulihkan hak korban.


    Kasus ini menunjukkan bahwa kejahatan digital semakin kreatif, bahkan memanfaatkan atribut religius untuk menutupi niat jahat. 


    Ini menambah dimensi moral: pelaku bukan hanya menipu secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap simbol kesalehan. Luka yang ditimbulkan tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga sosial dan psikologis.


    Bagi masyarakat, pelajaran yang harus diambil jelas: jangan pernah menyerahkan uang hanya karena janji cinta daring, jangan cepat percaya pada identitas maya yang belum diverifikasi, dan jangan ragu melapor ke polisi jika ada indikasi penipuan. 


    Bagi aparat, kasus ini harus menjadi contoh penegakan hukum yang tegas agar masyarakat tahu bahwa cinta palsu yang dibungkus kebohongan tidak akan dibiarkan tanpa hukuman.


    Sebagai pengacara, saya berpendapat bahwa penegakan hukum yang komprehensif—pidana dan perdata sekaligus—merupakan jalan terbaik. Pelaku harus dihukum sesuai KUHP dan UU ITE, sekaligus diwajibkan mengembalikan kerugian korban. 


    Dengan begitu, pesan yang disampaikan jelas: cinta bukan alasan untuk melanggar hukum, dan topeng cadar tidak akan mampu melindungi siapa pun dari jerat pidana maupun tuntutan ganti rugi.


    Cinta sejati lahir dari kejujuran, bukan dari rangkaian kebohongan. Dan di mata hukum, cinta palsu bukan sekadar dosa pribadi—tetapi kejahatan yang harus dibayar dengan harga mahal: penjara, denda, dan ganti rugi.


    Oleh : SAKARIAH.SH

    Komentar

    Tampilkan