-->

Notification

×

Indeks Berita

JPPR Sulsel : Money Politik dan Isu SARA, Musuh Besar dalam Berdemokrasi

Kamis, 01 Februari 2018 | Februari 01, 2018 WIB | 0 Views Last Updated 2018-03-14T02:20:29Z
[caption align="aligncenter" width="671"]aktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sulsel, Suhermanaktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sulsel, Suherman[/caption]

JPPR Sulsel : Money Politik dan Isu SARA, Musuh Besar dalam Berdemokrasi

MAKASSAR,--Menjelang pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 yang akan digelar secara serentak, tampaknya masih akan diwarnai dengan dua isu besar, yaitu isu politik uang dan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Persoalan ini masih akan terus mencuat, apalagi digerakkan oleh kekuatan politik tertentu untuk mengarahkan pilihan masyarakat terkait calon pemimpin. Hal ini dikemukakan, aktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sulsel, Suherman.

"Perlu diperhatikan, masih adanya politik uang dalam pilkada serentak. Selain itu, isu SARA menjadi persoalan yang akan digunakan dalam Pilkada 2018 hingga Pemilu 2019," jelas Emmang, sapaan akrabnya. Kamis, (1/2/2018).

Iapun menyampaikan beberapa data dan hasil riset terkait kepemiluan. Sebagai contoh Pilkada DKI 2017 lalu, berpotensi diadopsi dan menjadi ancaman yang terjadi di daerah-daerah di Sulsel.

"Money politik dan Isu SARA menjadi musuh terbesar dalam demokrasi dan proses pemilu. Momen pergantian kepemimpinan baik di daerah maupun pusat adalah politik uang yang masih merajalela dan isu SARA yang mulai menyeruak dan begitu kuatnya dihembuskan ketika Pilkada DKI 2017 lalu," bebernya.

Sebagaimana diketahui, bahwa terdapat 12 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada serentak di Sulsel yakni Jeneponto, Bantaeng, Sinjai, Bone, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang, Luwu, Kota Makassar, Palopo dan Parepare. Khusus di kabupaten Luwu, terdapat pasangan yang berasal dari kalangan non muslim, yakni Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Luwu Tahun 2018, Patahuddin – Emmy Tallesang.

Suherman yang juga putra Luwu ini menilai, perkembangan teknologi informasi dan berkembangnya dunia maya yang semakin mudah diakses masyarakat, memudahkam kelompok tertentu menyerang kandidat lain dengan isu SARA yang bertujuan untuk menurunkan elektabilitas kandidat lain.

"Isu SARA sebagai cara berkampanye yang semakin mudah memecah masyarakat. Dengan ujaran kebencian, penyesatan dan berbagai stigma buruk yang dilekatkan pada calon tertentu dianggap cara paling mudah dalam melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap calon tersebut," sesalnya.

Ia berharap, kelompok politik atau kekuatan oknum partai politik tertentu agar tidak mengabaikan etika berpolitik. Serta meminta penyelenggara pemilu melaksanakan etika penyelenggaraan pemilu.

"Hal lain, rendahnya sanksi yang diberikan terhadap mereka yang melontarkan isu SARA, dan yang paling mengkhawatirkan adalah robohnya kesadaran bernegara dan menguatnya sifat intoleransi," jelasnya.

UU Pemilu sendiri telah memuat sanksi satu tahun untuk mereka yang melakukan politik SARA.

"ini kan sangat lemah, sangat rendah, setahun dengan denda Rp 1 juta bagi mereka yang terbukti hal ini amat sangat rendah kalau kita bandingkan dengan sanksi yang ada dalam UU ITE. Isu SARA dalam pilkada lebih berbahaya daripada politik uang. Sebab isu SARA memiliki efek jangka panjang yang bisa menimbulkan gesekan dalam masyarakat," demikian Suherman.(*)

Penulis. : AD/Rilis
Editor. : Abdoel

Coffee Ginseng 5 In 1

×
Berita Terbaru Update